“Khat itu mengikuti pena. Bila engkau baguskan potongan penamu, berarti engkau baguskan tulisanmu. Bila engkau tidak mempedulikan penamu, maka sama saja engkau tidak peduli dengan khatmu.”
-Yaqut Al-Musta’shimi-
Dewasa ini nampaknya jarang sekali seseorang tidak mengetahui apa itu khat/kaligrafi. Jika ditunjukkan suatu hasil karya dari khat saja pasti orang tersebut langsung tahu bahwa karya tersebut adalah khat/kaligrafi. Namun pengetahuan mereka hanya berhenti hanya pada tulisan indah itu saja, padahal di dalamnya terdapat berbagai teori yang menarik untuk kita pelajari bersama. Khat atau yang masyhur disebut kaligrafi merupakan suatu cabang seni yang mengedapankan keindahan tulisan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah khat memiliki arti tulisan tangan (khususnya tulisan indah). Tidak ada perbedaan makna di antara istilah khat dan kaligrafi keduanya hanya perbedaan asal-muasal bahasa saja. Khat merupakan bahasa Arab, dan kaligrafi adalah bahasa Indonesia.
Pada perkembangannya sebelum masuk ke tanah air khat tercatat pernah berada di beberapa zaman, antara lain zaman pra-Islam, zaman Rasulullah SAW, zaman khulafa’ ar-Rasyidin, dan zaman dinasti Umayyah-Abbasiyyah sebelum akhirnya masuk ke tanah air. Pada masa awal pra-Islam perkembangan khat hanyalah sebetas tulisan gambar dan simbol saja yang memiliki arti kata tertentu dan biasanya digunakan sebagai alat komunikasi verbal oleh masyarakat pada masa itu. Berbeda pada masa Rasulullah, perkembangan khat sudah menjadi sebuah tulisan sendiri walaupun sifatnya sangat sederhana yaitu khat dengan model Kufi klasik yang tidak terdapat vokal/harakat, tanda baca seperti titik, koma, dan hiasan tulisan. Selanjutnya pada masa masa dinasti Umayyah dan Abbasiyyah khat sudah semakin sempurna dengan adanya titik dan juga harokat sudah mulai berkembang dengan berbagai gaya baru dalam penulisan khat. Awal mula khat masuk di tanah air masyhur diketahui sejak ditemukannya batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik sekitar abad ke-11 silam yang mana tertuliskan bentuk khat kufi pada nisan tersebut. Khat kemudian menjelma sebagai kreasi seniman Indonesia yang tetuliskan di berbagai media seperti kanfas, kayu, kaca, dan lain sebagainya.
Negeri dengan mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di Dunia, yakni Indonesia terkhusus pada lingkungan pesantren, khat merupakan suatu perkara yang sudah menjadi identitas seorang santri. Pasalnya pada keseharian di lingkungan pesantren para santri hampir dalam setiap waktunya selalu berkutat dengan tulisan-tulisan berbahasa Arab ketika dalam berbagai kajian keagamaan semisal mengkaji kitab fikih, tasawuf, ilmu bahasa seperti nahwu, shorf, mantiq, bahkan balaghah. Atau pun pada saat menghafal berbagai hadis, nadham, matan kitab dan kaidah-kadah usul fiqih. Apakah itu tidak cukup untuk mematrikan khat kepada setiap individu santri? Namun pada kenyataan, sekarang ini pengetahuan akan khat yang menjadi identitas santri semakin memudar. Dibuktikan dengan penelitian yang saya lakukan yang kemudian mengambil sampel dari mereka bahwasanya kurang daari 50% santri tidak mengetahui apa itu khat bahkan lebih parahnya banyak dari santri melakukan kesalahan ketika dimintai menuliskan sebuah kalimat dalam bahasa Arab (imla’). Entah hilang kemana identitas itu? Oleh apa? Dan bagaimana bisa itu terjadi? Apakah disebabkan oleh minat belajar mereka yang kurang terhadap khat? Atau yang lainnya? Yang jelas perlu adanya upaya yang signifikan guna mengembalikan khat/kaligrafi sebagai idintitas santri di dalam khazanah kepesantrenan yang sudah mendarah daging sejak dahulu.
Saya pribadi berspekulasi bahwasannya memudarnya khat di lingkungan pesantren disebabkan karena anggapan spele mereka terhadap khat/kaligrafi. Mereka hanya melihat kaligrafi dengan satu arah saja yatu tulisan yang bagus. Padahal lebih dari itu seorang yang belajar kaligrafi sebelum menguasai berbagai tulisan atau gaya khat yang bagus, ia harus melewati satu fase telebih dahulu yakni “benar dalam penulisannya”. Bukan hanya bagus saja, tetapi juga benar dalam penulisan khatnya. Oleh sebab itu sebaiknya para santri di lingkungan pesantren seyogyanya harus lebih memperhatikan lagi khat mereka agar bisa sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab yang baik dan benar. Dalam kasus ini saya memberi solusi bahwasanya khat di lingkungan pesantren sebaiknya dimasukkan ke dalam kurikulum atau minimal dijadikan sebagai ekstrakurikuler sebagai penunjang santri belajar di pondok pesantren. Para tenaga pengajar di lingkungan pesantren pun sebaiknya memberi arahan kepada para santri tentang pentingnya belajar khat sebagai identitas santri yang harus tetap lestari sampai kapanpun. Tentunya ini akan sangat menunjang bukan? Dan hal ini sudah tebuktikan hasilnya antara santri yang mengikuti ektrakuriler tersebut dengan mereka yang tidak mengikutinya. Selain harapan kembalinya identitas santri, banyak lagi manfaat yang bisa didapatkan, seperti santri yang sudah mahir dalam khat bisa diwakilkan untuk mengikuti sebuah perlombaan baik tingkat nasional maupun intenasional.
Adapun kegiatan semisal ektrakurikuler khat pada lingkungan pesantren seminimalnya mengandung tiga komponen tahapan dalam kegiatan pembelajarannya, yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi. Tahap awal yakni persiapan merupakan tahapan di mana para santri diberi pembekalan awal berupa materi dasar yang perlu mereka pegang sebelum memulai membuat karya khat. Dalam hal ini mereka dikenalkan cara yang benar memegang pena mereka. Hal ini mungkin terlihat sederhana, namun ini sulit bagi mereka yang belum terbiasa memegang pena khat dan ini akan mempengaruhi hasil goresan mereka nantinya. Setelah paham bagaimana memegang pena yang baik dan benar para santri mulai dikenalkan dengan goresan-goresan sederhana berupa titik agar mereka terbiasa dengan pena mereka dan ketebalan khat yang akan mereka buat. Kemudian masuk pada tahap dua para santri sudah mulai dikenalkan dengan huruf-huruf Arab dibarengi dengan jenis khatnya. Pengenalan ini kemudian disambung dengan tahap selanjunya yakni tahap pelaksanaan, di mana para santri setelah mengenal jenis dan teori yang ada, maka mereka sudah diharuskan meniru huruf-huru yang sudah dipelajari bersama sehingga menghasilkan goresan huruf yang sesuai dengan salah satu jenis khat yang ditiru. Hal ini harus dilakukan dengan telaten dan istikamah agar para santri terbiasa dan hafal di luar kepala mereka berbagai gaya penulisan khat. Pada tahap akhir diisi dengan kegiatan evaluasi bersama oleh pengurus ektrakurikuler yang difungsikan sebagai bahan evaluasi kegiatan agar mengetahui kekurangan apa saja yang perlu dibenahi setelah kegiatan berjalan yang nantinya akan dijadikan pelajaran agar kegiatan belajar khat tersebut semakin efektif lagi mencetak para santri yang mahir dalam dunia khat. Semua kegiatan yang direncanakan akan berjalan dengan baik jika mendapat dukungan dari pihak pengajar maupun mereka yang ikut mempelajari khat ini. Untuk itu dibutuhkan kesungguahan dari kedua pihak untuk selalu semangat bersama mempelajri khat di lingkungan pesantren.
Semoga dengan esai ini para santri temotivasi dan mau memberi feedback positif dengan mulai memperhatikan tulisan/khatnya lebih seksama lagi juga mau mempelajari dan mendalami sekaligus mengembangkan khat agar tetap eksis di khazanah kepesantrenan.
SC. Khanif Fauzi
Tulis Komentar