085158007125

Idul Adha : Harapan dan Pengorbananoleh Munir Azhari

$rows[judul] Keterangan Gambar : pict by istockphoto

Nurussalam Krapyak - Idul Adha merupakan salah satu dari dua hari raya yang ada dalam tradisi islam. Hari raya ini sering disebut dengan istilah hari raya “haji” atau “qurban”. Disebut hari raya “haji” karena hari raya ini dilaksanakan pada saat bulan Dzulhijjah, dimana bulan ini merupakan waktu dilaksanakanya rukun islam yang kelima. Sedangkan disebut hari raya “qurban” karena hari raya ini identik dengan tradisi penyembelihan hewan. Qurban adalah penyembelihan hewan yang diperbolehkan syariat yang dilaksanakan pada waktu yang dikhususkan (10,11,12,13 Dzulhijjah) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sejarah adanya hari raya Idul Adha tidak lepas dari kisah nabi Ibrahim dan Ismail. Peristiwa dimulai dari nabi Ibrahim bermimpi pada malam kedelapan bulan Dzulhijjah untuk menyembelih Putranya nabi Ismail. Kemudian, nabi Ibrahim mencerintakan mimpi tersebut kepada nabi Ismail dan mengatakan “sesungguhnya dalam mimpiku semalam ada yang mengatakan bahwa aku diperintah untuk menyembelih kamu”. Nabi Ibrahim kemudian bimbang (tarwiyah) dari waktu pagi sampai sore hari mimpi ini datangnya dari Allah atau dari setan. Setelah sore hari hari, nabi Ibrahim mengetahui (Arafah) bahwa mimpi tersebut datangnya dari Allah SWT. Keesokan harinya nabi Ibrahim melaksanakan perintah penyembelihan (nahr) tersebut[1]. Secara garis besar peristiwa nabi Ibrahim ini dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu: kebimbingan terhadap suatu perintah, pengetahuan terhadap wahyu yang disampaikan dan terakhir pengimplementasian perintah. Oleh karena itu, peristiwa tersebut menjadi tonggak dasar serangkaian 3 ibadah dalam bulan Dzulhijjah yaitu puasa tarwiyah, puasa arafah dan hari raya Idul Adha.

Idul adha merupakan momentum bagi setiap individu untuk mengambil ibrah terhadap peristiwa nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Seperti yang mafhum diketahui bahwa nabi Ibrahim telah mendambakan seorang putra selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan, suatu ketika istrinya Siti Sarah memerintahkan untuk menikah lagi dengan Siti Hajar dengan tujuan untuk memperoleh keturunan. Siti Sarah adalah istri nabi Ibrahim yang pertama yang merupakan seorang putri raja yang menjadi tawanan perang, karena mengalami kekalahan. Sedangkan Siti Hajar adalah istri kedua dari nabi Ibrahim yang merupakan seorang budak yang menemani perjalanan berdakwah nabi Ibrahim dan Siti Sarah dari Mesir sampai Palestina. Singkat waktu setelah nabi Ibrahim menikah dengan Siti Hajar, beliau dikaruniai seorang putra yang diberi nama Ismail. Tak berselang lama nabi Ibrahim juga memiliki putra dari Siti Sarah yang diberi nama Ishaq. Kelak dari kedua putra nabi Ibrahim melahirkan anbiya (red: jamak dari nabi), nabi Ismail melahirkan nabi Muhammad Saw dan nabi Ishaq melahirkan nabi dari golongan Yahudi. Dalam sebuah riwayat, nabi Ibrahim ketika lahirnya Ismail berumur 99 tahun, sedangkan ketika lahirnya Ishaq umur nabi Ibrahim berumur 112 tahun[2].

Kembali pada topik Idul adha, rentetan peristiwa tersebut membawa gambaran pada sikap pengorbanan nabi Ibrahim terhadap hal paling diharapkan selama bertahun-tahun. Bentuk pengorbanan tersebut dapat dipahami bahwa Allah akan menguji setiap hambanya berdasarkan tingkat ketaqwaan dan kesalehan. Makin tinggi tingkat ketaqwaan dan kesalehan seseorang makin tinggi juga tingkat ujian dan cobaan yang dihadapi. Artinya Allah SWT menguji hambanya dalam taraf untuk peningkatan derajat dan keluhuran seseorang sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan. Sikap lain yang perlu diteladani adalah sikap nabi Ismail[3] yang ikhlas terhadap perintah untuk menyembelih dirinya sendiri. Sikap ikhlas ini menjadi teladan bagi setiap individu untuk mengikhlaskan segala sesuatu yang telah menjadi sunnatullah agar mendapatkan ridho dan rahmat Allah SWT. Sikap kerelaan Siti Sarah juga dapat menjadi contoh bahwa dalam mengembangkan dakwah ajaran Allah diperlukan seorang penerus yang mampu meneruskan misi dakwah tersebut. Sikap kerelaan ini merupakan sikap yang sulit dilakukan, akan tetapi Siti Sarah merelakan suaminya untuk menikah lagi dengan tujuan untuk melestarikan keturunan yang salih. Sikap gigih Siti Hajar dalam mengasuh dan mendidik nabi Ismail juga perlu dijadikan suri tauladan untuk setiap individu. Dikisahkan pada saat Siti Hajar dan nabi Ismail melakukan perjalanan ke Mekkah tidak membawa bekal sama sekali dan melewati padang pasir yang sangat panas serta tidak ada satupun dijumpai orang, tumbuhan dan air yang dapat dijadikan sumber tenaga. Ismail kecil merasa kelaparan dan kehauasan, akhirnya Siti Hajar berlari kecul untuk mencari sumber tenaga dengan melewati bukit shafa dan marwah selama 7 kali sembari berdoa kepada Allah untuk melindungi putranya. Allah menurunkan mukjizatnya pada nabi Ismail dengan memunculkan sumber mata air yang keluar dari penghentakan kaki Ismail ketika menangis kelaparan. Peristiwa lari kecil Siti Hajar tersebut menjadi rukun haji yang lebih dikenal dengan istilah sa’i. Bentuk pengorbanan dari keluarga nabi Ibrahim menjadi kesalehan baik kesalehan dalam memenuhi hak Allah dan sesama manusia. Alluhu a’lam.



[1] Tafsir Surat Asshafat ayat 102, Lihat: Muhammad Nawawi al-Jawi. 2014. Murah Labid Tafsir Annawawi Juz 2. (Jakarta: Haramain), hal.  221

[2] Tafsir Surat Ibrahim ayat 39, Lihat: Muhammad Nawawi al-Jawi. 2014.Murah Labid Tafsir Annawawi Juz 1. (Jakarta: Haramain), hal.  438

[3] Riwayat Lain mengatakan nabi Ishaq, tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa yang akan disembelih adalah nabi Ismail. Penulis berpandangan sesuai dengan kaidah “Idza ijtama amrani min jinsin Wahidin walam yakhtalif maqshuduhuma, dakhala ahaduhuma fil akhir ghaliban”, maksudnya apabila ada dua perintah yang maksudnya sama maka pilihlah salah satu yang biasanya masuk kepada yang lain. Oleh karena itu, penulis condong pada pendapat yang akan disembelih  adalah nabi Ismail.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)