Nurussalam Krapyak - Idul Adha merupakan
salah satu dari dua hari raya yang ada dalam tradisi islam. Hari raya ini
sering disebut dengan istilah hari raya “haji” atau “qurban”.
Disebut hari raya “haji” karena hari raya ini dilaksanakan pada saat bulan
Dzulhijjah, dimana bulan ini merupakan waktu dilaksanakanya rukun islam yang
kelima. Sedangkan disebut hari raya “qurban” karena hari raya ini
identik dengan tradisi penyembelihan hewan. Qurban adalah penyembelihan
hewan yang diperbolehkan syariat yang dilaksanakan pada waktu yang dikhususkan
(10,11,12,13 Dzulhijjah) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sejarah adanya hari
raya Idul Adha tidak lepas dari kisah nabi Ibrahim dan Ismail. Peristiwa
dimulai dari nabi Ibrahim bermimpi pada malam kedelapan bulan Dzulhijjah untuk
menyembelih Putranya nabi Ismail. Kemudian, nabi Ibrahim mencerintakan mimpi
tersebut kepada nabi Ismail dan mengatakan “sesungguhnya dalam mimpiku semalam ada
yang mengatakan bahwa aku diperintah untuk menyembelih kamu”. Nabi Ibrahim kemudian
bimbang (tarwiyah) dari waktu pagi sampai sore hari mimpi ini datangnya dari
Allah atau dari setan. Setelah sore hari hari, nabi Ibrahim mengetahui (Arafah)
bahwa mimpi tersebut datangnya dari Allah SWT. Keesokan harinya nabi Ibrahim
melaksanakan perintah penyembelihan (nahr) tersebut[1]. Secara
garis besar peristiwa nabi Ibrahim ini dapat diklasifikasikan menjadi 3
kategori yaitu: kebimbingan terhadap suatu perintah, pengetahuan terhadap wahyu
yang disampaikan dan terakhir pengimplementasian perintah. Oleh karena itu,
peristiwa tersebut menjadi tonggak dasar serangkaian 3 ibadah dalam bulan
Dzulhijjah yaitu puasa tarwiyah, puasa arafah dan hari raya Idul Adha.
Idul adha merupakan
momentum bagi setiap individu untuk mengambil ibrah terhadap peristiwa
nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Seperti yang mafhum diketahui bahwa nabi
Ibrahim telah mendambakan seorang putra selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan,
suatu ketika istrinya Siti Sarah memerintahkan untuk menikah lagi dengan Siti Hajar
dengan tujuan untuk memperoleh keturunan. Siti Sarah adalah istri nabi Ibrahim
yang pertama yang merupakan seorang putri raja yang menjadi tawanan perang,
karena mengalami kekalahan. Sedangkan Siti Hajar adalah istri kedua dari nabi
Ibrahim yang merupakan seorang budak yang menemani perjalanan berdakwah nabi
Ibrahim dan Siti Sarah dari Mesir sampai Palestina. Singkat waktu setelah nabi
Ibrahim menikah dengan Siti Hajar, beliau dikaruniai seorang putra yang diberi
nama Ismail. Tak berselang lama nabi Ibrahim juga memiliki putra dari Siti
Sarah yang diberi nama Ishaq. Kelak dari kedua putra nabi Ibrahim melahirkan anbiya
(red: jamak dari nabi), nabi Ismail melahirkan nabi Muhammad Saw dan
nabi Ishaq melahirkan nabi dari golongan Yahudi. Dalam sebuah riwayat, nabi
Ibrahim ketika lahirnya Ismail berumur 99 tahun, sedangkan ketika lahirnya
Ishaq umur nabi Ibrahim berumur 112 tahun[2].
Kembali pada topik Idul
adha, rentetan peristiwa tersebut membawa gambaran pada sikap pengorbanan nabi
Ibrahim terhadap hal paling diharapkan selama bertahun-tahun. Bentuk
pengorbanan tersebut dapat dipahami bahwa Allah akan menguji setiap hambanya
berdasarkan tingkat ketaqwaan dan kesalehan. Makin tinggi tingkat ketaqwaan dan
kesalehan seseorang makin tinggi juga tingkat ujian dan cobaan yang dihadapi. Artinya
Allah SWT menguji hambanya dalam taraf untuk peningkatan derajat dan keluhuran
seseorang sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan. Sikap lain yang perlu
diteladani adalah sikap nabi Ismail[3]
yang ikhlas terhadap perintah untuk menyembelih dirinya sendiri. Sikap ikhlas
ini menjadi teladan bagi setiap individu untuk mengikhlaskan segala sesuatu
yang telah menjadi sunnatullah agar mendapatkan ridho dan rahmat Allah
SWT. Sikap kerelaan Siti Sarah juga dapat menjadi contoh bahwa dalam
mengembangkan dakwah ajaran Allah diperlukan seorang penerus yang mampu
meneruskan misi dakwah tersebut. Sikap kerelaan ini merupakan sikap yang sulit
dilakukan, akan tetapi Siti Sarah merelakan suaminya untuk menikah lagi dengan
tujuan untuk melestarikan keturunan yang salih. Sikap gigih Siti Hajar dalam
mengasuh dan mendidik nabi Ismail juga perlu dijadikan suri tauladan untuk
setiap individu. Dikisahkan pada saat Siti Hajar dan nabi Ismail melakukan
perjalanan ke Mekkah tidak membawa bekal sama sekali dan melewati padang pasir
yang sangat panas serta tidak ada satupun dijumpai orang, tumbuhan dan air yang
dapat dijadikan sumber tenaga. Ismail kecil merasa kelaparan dan kehauasan,
akhirnya Siti Hajar berlari kecul untuk mencari sumber tenaga dengan melewati
bukit shafa dan marwah selama 7 kali sembari berdoa kepada Allah untuk
melindungi putranya. Allah menurunkan mukjizatnya pada nabi Ismail dengan
memunculkan sumber mata air yang keluar dari penghentakan kaki Ismail ketika
menangis kelaparan. Peristiwa lari kecil Siti Hajar tersebut menjadi rukun haji
yang lebih dikenal dengan istilah sa’i. Bentuk pengorbanan dari keluarga
nabi Ibrahim menjadi kesalehan baik kesalehan dalam memenuhi hak Allah dan
sesama manusia. Alluhu a’lam.
[1] Tafsir
Surat Asshafat ayat 102, Lihat: Muhammad
Nawawi al-Jawi. 2014. Murah Labid Tafsir Annawawi Juz 2.
(Jakarta: Haramain), hal. 221
[2] Tafsir Surat Ibrahim ayat 39, Lihat:
Muhammad Nawawi al-Jawi. 2014.Murah Labid Tafsir Annawawi Juz 1.
(Jakarta: Haramain), hal. 438
[3] Riwayat Lain mengatakan nabi Ishaq,
tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa yang akan disembelih adalah nabi
Ismail. Penulis berpandangan sesuai dengan kaidah “Idza ijtama amrani min
jinsin Wahidin walam yakhtalif maqshuduhuma, dakhala ahaduhuma fil akhir
ghaliban”, maksudnya apabila ada dua perintah yang maksudnya sama maka
pilihlah salah satu yang biasanya masuk kepada yang lain. Oleh karena itu,
penulis condong pada pendapat yang akan disembelih adalah nabi Ismail.
Tulis Komentar