085158007125

Implementasi Mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW dengan Kesungguhan dan KedisiplinanOleh Fira Nadzirotul Afrida

$rows[judul] Keterangan Gambar : Mauidloh Hasanah Dr. KH. Tamtowi, M.Ag pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pondok Pesantren Al Munawwir Komplek Nurussalam, Senin 23 September 2024.

Nurussalam Krapyak - Nabi Muhammad merupakan manusia yang dijanjikan akan kemuliannya. Kemuliaan itu bukan karena beliau sebagai insan terpilih saja, melainkan juga sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Dengan kemuliaan itu, Nabi Muhammad justru melimpahkan kasih sayangnya kepada seluruh ummatnya. Sebagaimana doa terbaiknya yang dicurahkan untuk keselamatan ummatnya di akhirat kelak, bahkan dalam hembusan nafas terakhirnya.  Oleh sebab itulah, kita harus mencintai Nabi Muhammad SAW dengan mahabbah yang tertinggi. Mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW dapat kita tuangkan dalam mencintai kitab-Nya, yakni Al-Qur’an. Al-Quran dijadikan sebagai pedoman kita dalam menjalani kehidupan dengan baik. Melalui malaikat Jibril, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah untuk Nabi Muhammad SAW. Apabila ingin mengetahui bagaimana Nabi Muhammad menjalani kehidupan keseharian, berumah tangga, menyelesaikan permasalahan, dan mengambil keputusan yang penting, kesemuanya itu dapat ditelaah dalam ayat-ayat Al-Qur’an.

Sebagai seorang santri, sudah selayaknya kita menumbuhkan mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW dengan mengintegrasikan kecintaan spiritual dengan kesungguhan dan kedisiplinan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban sebagai santri. Misalnya jika ingin memahami ilmu-ilmu yang dipelajari, maka sudah tentu konsekuensinya adalah dengan belajar secara terus menerus dan bersungguh-sungguh. Pelajaran yang didapatinya harus terus-menerus diulang-ulang (muthola’ah). Contoh lain adalah bilamana ingin memiliki hafalan Al-Qur’an yang kuat, para santri harus senantiasa istiqomah nderes. Mahabbah harus senantiasa diusahakan serta dimanifestasikan dalam segala aspek kehidupan, karena makna cinta hakikatnya selalu mengusahakan dalam bentuk tindakan nyata.

Menarik untuk diingat, Abu Lahab merupakan salah satu orang yang menentang ketika Muhammad diangkat menjadi Nabi dan mendakwahkan  Islam. Namun ketika kemenakannya, Muhammad bin Abdullah itu lahir pada hari Senin, Ia lantas bergembira atas kabar tersebut. Abu Lahab merasa senang dengan kabar gembira yang dibawa oleh salah satu budaknya yang bernama Tsuwaibah. Sesuai adat orang Arab saat itu, budak yang membawa kabar gembira akan diberikan hadiah. Kelahiran keponakannya itu adalah kabar gembira bagi Abu Lahab, dan Tsuwaibah dihadiahi kemerdekaan dari statusnya sebagai budak. Dengan kegembiraan dan kecintaannya (mahabah) atas kelahiran Nabi Muhammad, Allah SWT meringankan siksanya pada setiap hari Senin. Penggalan kisah ini juga diabadikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Ad-Dimyati dalam Kitab Al-Kawkib Al-Anwar yang merupakan Syarah Kitab Maulid Al-Barzanji:

إِذَا كَانَ هَذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ # وَتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيمِ مُخَلَّدَا#

أَتَى أَنَّهُ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ دَائِمًا # يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُورِ بِأَحْمَدَا #

فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي طُولَ عُمْرِهِ # بِأَحْمَدَ مَسْرُورًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا #

“Jika orang kafir ini (Abu Lahab) yang sudah dipastikan masuk neraka dan abadi didalamnya,

setiap hari senin selalu mendapatkan keringanan siksaan akibat pernah bahagia dengan Muhammad.

Bagaimana lagi dengan seorang hamba yang sepanjang usianya selalu bahagia atas kelahiran Muhammad dan wafat dalam keadaan bertauhid?”

Pada akhirnya, penggalan kisah Abu Lahab ini dapat kita refleksikan bagi diri kita masing-masing. Abu Lahab saja yang hanya sebatas senang saat Rasulullah lahir diringankan siksanya, padahal jelas Abu Lahab adalah seorang kafir. Lalu bagaimana dengan kita, yang senang dan gembira serta penuh harapan akan syafaat beliau. Sebagai seorang santri, kita bahkan senantiasa berusaha untuk terus menerus meneladani Nabi Muhammad SAW. Sebagai santri, mencintai Nabi Muhammad dapat kita realisasikan dengan berdisiplin serta bersungguh-sungguh dalam menjalani rutinitas untuk menuntut ilmu. Mahabbah yang diwujudkan dengan kesungguhan itu, merupakan wujud cinta yang nyata terhadap Nabi Muhammad SAW. Semoga mahabbah kita kepada Nabi Muhammad SAW berbalas syafaat yang senantiasa kita harap-rindukan itu. Dan yang terpenting, semoga kita dapat terus istiqomah mengikuti jejak-jejaknya, semampu kita, sedikit demi sedikit. Dengan mahabbah itulah, kita senantiasa berharap semoga kita digolongkan sebagai bagian dari ummatnya.

Harapan itu sebagaimana maqolah Imam Asy-Syafi’i,

أُحِبُّ الصَّالِحِينَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ# لَـعَـلِّـي أَنْ أَنَـالَ بِـهِـمْ شَـفَاعَة

وَأَكْـرَهُ مَـنْ تِـجَارَتُهُ الْمَعَاصِي # وَلَـوْ كُـنَّـا سَـوَاءً فِي الْبِضَاعَة

“Aku mencintai orang-orang sholeh meskipun aku bukan termasuk di antara mereka,

Semoga bersama mereka aku bisa mendapatkan syafa’at kelak.

Aku membenci para pelaku maksiat,

Meskipun aku tak berbeda dengan mereka.”

 

Wallahu a’lam

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)