Nurussalam Krapyak - Nabi
Muhammad merupakan manusia yang dijanjikan akan kemuliannya. Kemuliaan itu
bukan karena beliau sebagai insan terpilih saja, melainkan juga sebagai suri
tauladan bagi seluruh umat manusia. Dengan kemuliaan itu, Nabi Muhammad justru
melimpahkan kasih sayangnya kepada seluruh ummatnya. Sebagaimana doa terbaiknya
yang dicurahkan untuk keselamatan ummatnya di akhirat kelak, bahkan dalam
hembusan nafas terakhirnya. Oleh sebab
itulah, kita harus mencintai Nabi Muhammad SAW dengan mahabbah yang tertinggi. Mahabbah
kepada Nabi Muhammad SAW dapat kita tuangkan dalam mencintai kitab-Nya, yakni
Al-Qur’an. Al-Quran dijadikan sebagai pedoman kita dalam menjalani kehidupan dengan
baik. Melalui malaikat Jibril, Al-Qur’an diturunkan oleh Allah untuk Nabi
Muhammad SAW. Apabila ingin mengetahui bagaimana Nabi Muhammad menjalani
kehidupan keseharian, berumah tangga, menyelesaikan permasalahan, dan mengambil
keputusan yang penting, kesemuanya itu dapat ditelaah dalam ayat-ayat
Al-Qur’an.
Sebagai
seorang santri, sudah selayaknya kita menumbuhkan mahabbah kepada Nabi Muhammad
SAW dengan mengintegrasikan kecintaan spiritual dengan kesungguhan dan
kedisiplinan dalam menunaikan kewajiban-kewajiban sebagai santri. Misalnya jika
ingin memahami ilmu-ilmu yang dipelajari, maka sudah tentu konsekuensinya
adalah dengan belajar secara terus menerus dan bersungguh-sungguh. Pelajaran
yang didapatinya harus terus-menerus diulang-ulang (muthola’ah). Contoh
lain adalah bilamana ingin memiliki hafalan Al-Qur’an yang kuat, para santri
harus senantiasa istiqomah nderes. Mahabbah harus senantiasa diusahakan
serta dimanifestasikan dalam segala aspek kehidupan, karena makna cinta
hakikatnya selalu mengusahakan dalam bentuk tindakan nyata.
Menarik
untuk diingat, Abu Lahab merupakan salah satu orang yang menentang ketika
Muhammad diangkat menjadi Nabi dan mendakwahkan
Islam. Namun ketika kemenakannya, Muhammad bin Abdullah itu lahir pada
hari Senin, Ia lantas bergembira atas kabar tersebut. Abu Lahab merasa senang
dengan kabar gembira yang dibawa oleh salah satu budaknya yang bernama Tsuwaibah.
Sesuai adat orang Arab saat itu, budak yang membawa kabar gembira akan
diberikan hadiah. Kelahiran keponakannya itu adalah kabar gembira bagi Abu
Lahab, dan Tsuwaibah dihadiahi kemerdekaan dari statusnya sebagai budak. Dengan
kegembiraan dan kecintaannya (mahabah) atas kelahiran Nabi Muhammad, Allah SWT
meringankan siksanya pada setiap hari Senin. Penggalan kisah ini juga
diabadikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Ad-Dimyati dalam Kitab Al-Kawkib
Al-Anwar yang merupakan Syarah Kitab Maulid Al-Barzanji:
إِذَا
كَانَ هَذَا كَافِرًا جَاءَ ذَمُّهُ # وَتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيمِ مُخَلَّدَا#
أَتَى
أَنَّهُ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ دَائِمًا # يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُورِ بِأَحْمَدَا
#
فَمَا
الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي طُولَ عُمْرِهِ # بِأَحْمَدَ مَسْرُورًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا
#
“Jika
orang kafir ini (Abu Lahab) yang sudah dipastikan masuk neraka dan abadi
didalamnya,
setiap
hari senin selalu mendapatkan keringanan siksaan akibat pernah bahagia dengan
Muhammad.
Bagaimana
lagi dengan seorang hamba yang sepanjang usianya selalu bahagia atas kelahiran
Muhammad dan wafat dalam keadaan bertauhid?”
Pada
akhirnya, penggalan kisah Abu Lahab ini dapat kita refleksikan bagi diri kita
masing-masing. Abu Lahab saja yang hanya sebatas senang saat Rasulullah lahir
diringankan siksanya, padahal jelas Abu Lahab adalah seorang kafir. Lalu
bagaimana dengan kita, yang senang dan gembira serta penuh harapan akan syafaat
beliau. Sebagai seorang santri, kita bahkan senantiasa berusaha untuk terus
menerus meneladani Nabi Muhammad SAW. Sebagai santri, mencintai Nabi Muhammad
dapat kita realisasikan dengan berdisiplin serta bersungguh-sungguh dalam
menjalani rutinitas untuk menuntut ilmu. Mahabbah yang diwujudkan dengan
kesungguhan itu, merupakan wujud cinta yang nyata terhadap Nabi Muhammad SAW. Semoga
mahabbah kita kepada Nabi Muhammad SAW berbalas syafaat yang senantiasa kita
harap-rindukan itu. Dan yang terpenting, semoga kita dapat terus istiqomah
mengikuti jejak-jejaknya, semampu kita, sedikit demi sedikit. Dengan mahabbah
itulah, kita senantiasa berharap semoga kita digolongkan sebagai bagian dari
ummatnya.
Harapan
itu sebagaimana maqolah Imam Asy-Syafi’i,
أُحِبُّ
الصَّالِحِينَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ# لَـعَـلِّـي أَنْ أَنَـالَ بِـهِـمْ شَـفَاعَة
وَأَكْـرَهُ
مَـنْ تِـجَارَتُهُ الْمَعَاصِي # وَلَـوْ كُـنَّـا سَـوَاءً فِي الْبِضَاعَة
“Aku
mencintai orang-orang sholeh meskipun aku bukan termasuk di antara mereka,
Semoga
bersama mereka aku bisa mendapatkan syafa’at kelak.
Aku
membenci para pelaku maksiat,
Meskipun
aku tak berbeda dengan mereka.”
Wallahu
a’lam
Tulis Komentar