Nurussalam Krapyak - Ahmad Syafi’i Ma’arif, atau dikenal sebagai Buya Syafi’i, sosok cendekiawan Muhammadiyah, mengatakan bahwa Demokrasi adalah sistem politik terbaik, sebab menghargai dan menghormati semua warga negara tanpa diskriminasi. Prinsip demokrasi tak lain dan tak bukan adalah sejalan dengan egalitarianisme Islam bahwa semua orang adalah sama, sebab taqwalah yang menjadi tolok ukur kemuliaan seorang hamba di sisi-Nya. Inilah demokrasi, one man one vote yakni satu warga dengan satu suara.
Dalam perspektif keindonesiaan, mesin penggerak demokrasi yang ampuh ialah pesantren dengan segala aspek dan hiruk-pikuk perikehidupannya sebagai miniatur bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Tentu ini menjadi pertanyaan, mengapa pesantren mampu menjadi mesin penggerak demokrasi yang jitu? Sudah barang tentu kunci demokrasi ada pada “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Musyawarah menjadi kunci demokrasi yang ternyata disebut pula dalam Al-Qur’an dengan “wasyaawirhum fil amr” yakni bermusyawarahlah dalam setiap urusan. Demokrasi permusyawaratan di Nurussalam berjalan dengan efektif dan representatif.
Tak terasa, kepengurusan periode 2022-2024 Pondok Nurussalam Krapyak telah usai, artinya dentuman demokrasi mulai terdengar pada riuhnya kampanye masing-masing calon lurah (calur). Pondok Nurussalam Putra, pada pesta demokrasi ini menghadirkan keempat santri terbaiknya. Nomor 01 Nasril Nasar, 02 M. Nurusshobah, 03 Iwan El Hasan, dan 04 Ade Kurniawan. Di tengah riuhnya pencaluran ke-empat kandidat itu, suasana kompetitif begitu terasa dalam setiap sudut-sudut asrama. Tak dipungkiri, ini disebabkan pula spirit Pemilu Serentak 2024 yang tinggal menghitung hari. Kesadaran demokrasi begitu ramai, jagongan-jagongan santri terasa begitu ramai dengan pembahasan keunggulan dan visi misi setiap calur. Ini adalah kabar baik.
Namun, demokrasi di Pondok Nurussalam Krapyak ini juga berada pada pertaruhan dan ujung tanduk. Mengapa? Kekhawatiran bahwa pemilihan lurah ini hanya akan menjadi sekadar demokrasi seolah-olah begitu menegangkan. Tak jarang, kalangan santri tertentu hanya “rubuh-rubuh gedhang” atau “bagaikan air di daun talas” yang memilih lurah hanya sekadar kewajiban formalitas. Para pemilih dalam hal menentukan pilihannya belum didasarkan pada gagasan dan visi misi yang berbuah kemantapan hati. Jika demikian, demokrasi di Nurussalam tak ayal hanya sebatas formalitas. Bahkan menjadi pertanyaan besar, apakah pemilihan lurah hanya akan menjadi demokrasi seolah-olah?
Oleh sebab itu, agar kekhawatiran itu tak terjadi, Pemilihan Lurah ini harus dijadikan sarana pendidikan demokrasi yang sarat akan substansi, bukan sebatas formalitas tanpa arti. Hal ini tentu menjadi tugas semua pihak, terutama para Calon Lurah dan tim pemenangannya. Perlu pembelajaran demokrasi agar Nurussalam benar-benar memperoleh keterpilihan yang terbaik!
Lebih lanjut, soalan pendidikan demokrasi pada santri tentu menjadi bekal yang penting di masa yang akan datang. Santri kelak pada masanya tentu akan bermasyarakat, setidaknya permusyawaratan dan konsep demokrasi yang berdasar hikmat permusyawaratan yang “ideal” pernah dirasakannya saat mondok di Nurussalam Krapyak. Sehingga di masa yang akan datang, santri Nurussalam Krapyak mampu memberikan dorongan bagi masyarakat agar terus berdemokrasi secara sehat, bukan sekadar demokrasi yang seolah-olah, apalagi demokrasi yang crah agawe bubrah.
Soal demokrasi seolah-olah, bukan permasalahan gampang dan receh, sebab hingga kini tak jarang didapati pemilih yang asal coblos, atau bahkan golput. Sebab itulah, santri dengan berbekal pengalaman praktik demokrasi pada Pemilihan Lurah ini, diharapkan mampu menjadi agent of change di masyarakat. Santri harus memberikan pemahaman betapa pesta demokrasi punya nilai penting dalam sendi kehidupan berbangsa bernegara. Atau jika meminjam istilah Gus Dur, santri harus menjadi lokomotif transformasi demokrasi di masa yang akan datang.
Tulis Komentar