085158007125

Lora Ismail Al-Kholilie : Barometer Kesuksesan Seorang Pendakwah Oleh Narda Nasar

$rows[judul] Keterangan Gambar : Sumber Media Al-Munawwir

Nurussalam Krapyak - Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak kedatangan sosok kharismatik keturunan kelima Syeikh Kholil Bangkalan yaitu Muhammad Ismail Amin Kholil pada hari Kamis (6/8). Kedatangan Lora Ismail al-Kholilie, sapaan akrabnya, dalam rangka tabarukkan dan sowan kepada para masyayikh di beberapa pondok pesantren terkhusus PP Al Munawwir Krapyak.

Acara yang bertempat di Aula G Al Munawwir ini, diawali sambutan perwakilan pengasuh yaitu abah KH Fathoni Dalhar Munawwir kemudian dilanjut mauidhoh khasanah oleh beliau Lora Ismail. Dalam mauidhohnya beliau menyampaikan mengenai pentingnya menyadari bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu Al Quran. Di samping itu, beliau juga menyampaikan mengenai barometer kesuksesan para ulama atau pendakwah.

“Seperti apa sih ulama yang sukses itu?” tanya Lora mengawali mauidohnya di hadapan ratusan santri Krapyak yang terus membludak memadati aula.

Tentu kesuksesan itu tidak dilihat dari jumlah santri, jumlah orang yang di-Islam-kan, jumlah followers, dan tanda centang biru. Menurut guru beliau, barometer kesuksesan adalah saat seseorang mampu mengerahkan semua usahanya untuk mengajak seseorang kepada Allah. Begitupun para santri yang mendapat gelar teladan bukan yang paling banyak membaca kitab, santri yang cerdas, dan bukan juga santri yang mampu menghafal dalam kurung waktu yang singkat.

“Gelar santri teladan adalah dia yang sudah berusaha secara totalitas mempersembahkan seluruh kemampuan yang dimiliki dalam menuntut ilmu Allah SWT,” sambung pengasuh Ponpes Al-Muhajirun As-Salafi Alkholili, Bangkalan itu.

Maka dalam hal ini, setiap orang penting untuk memanfaaatkan waktunya sebaik mungkin sebab waktu tidak akan terulang kembali. Seperti para ulama yang tidak pernah mensia – siakan waktunya bahkan hanya sedetik sekalipun. Dalam penyampaiannya beliau Lora Ismail merekomendasikan sebuah buku yang berjudul Harga Waktu Menurut Para Ulama. Buku itu menjelaskan bagaimana seorang ulama sangat menghargai waktu.

Membahas perihal waktu, Lora Ismail juga memaparkan kisah Ibnu Aqil (pensyarah kitab Alfiyah ibn Malik). Beliau tidak pernah mengonsumsi makanan yang dikunyah, tetapi mengomsumsi makanan yang lansung masuk ke dalam tubuh tanpa melalui proses kunyah.

“Kenapa?” tanyanya membuat santri penasaran. “Mengunyah makanan itu sama dengan membuang waktu,” jawab beliau atas pertanyaannya sendiri. Beliau menjelaskan bahwa pada umumnya makanan membutuhkan waktu tiga sampai empat menit dalam proses mengunyah hingga bisa ditelan. Dan itu adalah ukuran waktu yang lama bagi Ibnu Aqil untuk bisa menggunakannya dalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu.

“Ini eman – eman, andaikan saya buat untuk menghafalkan Al Quran, andaikan saya buat untuk muroja’ah, andaikan saya buat untuk baca kitab,” tandas murid kinasih KH. Maimun Zubair itu. Atas pemahaman ini, penghargaan terhadap waktu merupakan hal yang teramat mulia yang harus selalu mendasari setiap laku apapun kondisinya, terlebih santri dalam mencari ilmu.

“Para ulama kita dulu sebegitu memanfaatkan waktu sebaik – baiknya,” ucap Lora Ismail dengan raut serius.

الْعِلْمُ لَا يُعْطِيكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ

Ilmu itu tidak akan memberimu sebagian darinya, sampai engkau memberikan seluruh dirimu.

Selanjutnya kunci kesuksesan yang kedua yaitu mampu mensiasati waktu, dalam penjelasannya beliau memberikan contoh perihal membaca Al Qur’an di bulan Ramadhan. Setelah berbuka puasa, seseorang memiliki niat bahwa setelah isya ingin membaca Al Quran 10 juz. Namun setelah shalat tarawih yang tadinya menargetkan membaca 10 juz, saat mendapat satu lembar nafsu menghantui dan mengajak untuk mengakhiri kegiatan ngaji tersebut.

“Mengapa nafsu itu meremehkan?” ucap beliau.

“Karena kata nafsu ini cuma sunnah kok, ditinggalin nggak dosa” lanjutnya dengan keseriusan.

Menanggapi hal itu, Lora Ismail memberikan cara untuk mensiasati yaitu dengan melakukan nazar. Alasannya karena ketika melakukan nazar maka perkara sunnah itu akan menjadi wajib. Lalu dengan label wajib tersebut maka seseorang akan mendapat dosa ketika meninggalkan dan mendapat pahala saat melaksanakan. Menurut hemat penulis, berubahnya status hukum dari sunnah ke wajib ini dimaksudkan karena dalam perkara wajib terdapat unsur paksaan dan tidak perlu ikhlas. Berbeda dengan sunnah yang harus dilaksanakan secara sukarela, tidak boleh dipaksa dan ikhlas karena Allah SWT.

Terakhir, beliau memberikan pesan agar kita semua dapat menjadi orang – orang yang mampu menebar kemanfaatan terhadap siapapun dan dimanapun. Sebab orang – orang tentu menunggu sumbangsih yang bisa diberikan setiap santri pada masyarakat sekitar. Seperti tujuan seseorang berada di pondok yaitu mampu menebar kebaikan sebanyak – banyaknya karena hal itu merupakan alasan mengapa kita dicetak.

 

 

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)