Nurussalam Krapyak - Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak kedatangan sosok kharismatik
keturunan kelima Syeikh Kholil Bangkalan yaitu Muhammad Ismail Amin Kholil pada
hari Kamis (6/8). Kedatangan Lora Ismail al-Kholilie, sapaan akrabnya, dalam
rangka tabarukkan dan sowan kepada para masyayikh di beberapa pondok pesantren
terkhusus PP Al Munawwir Krapyak.
Acara yang bertempat di Aula G Al Munawwir ini, diawali
sambutan perwakilan pengasuh yaitu abah KH Fathoni Dalhar Munawwir kemudian
dilanjut mauidhoh khasanah oleh beliau Lora Ismail. Dalam mauidhohnya beliau
menyampaikan mengenai pentingnya menyadari bahwa ilmu yang paling utama adalah
ilmu Al Quran. Di samping itu, beliau juga menyampaikan mengenai barometer
kesuksesan para ulama atau pendakwah.
“Seperti apa sih ulama yang sukses itu?” tanya Lora
mengawali mauidohnya di hadapan ratusan santri Krapyak yang terus membludak
memadati aula.
Tentu kesuksesan itu tidak dilihat dari jumlah santri,
jumlah orang yang di-Islam-kan, jumlah followers, dan tanda centang
biru. Menurut guru beliau, barometer kesuksesan adalah saat seseorang mampu
mengerahkan semua usahanya untuk mengajak seseorang kepada Allah. Begitupun
para santri yang mendapat gelar teladan bukan yang paling banyak membaca kitab,
santri yang cerdas, dan bukan juga santri yang mampu menghafal dalam kurung
waktu yang singkat.
“Gelar santri teladan adalah dia yang sudah berusaha
secara totalitas mempersembahkan seluruh kemampuan yang dimiliki dalam menuntut
ilmu Allah SWT,” sambung pengasuh Ponpes Al-Muhajirun As-Salafi Alkholili, Bangkalan itu.
Maka dalam hal ini, setiap orang penting untuk
memanfaaatkan waktunya sebaik mungkin sebab waktu tidak akan terulang kembali.
Seperti para ulama yang tidak pernah mensia – siakan waktunya bahkan hanya
sedetik sekalipun. Dalam penyampaiannya beliau Lora Ismail merekomendasikan
sebuah buku yang berjudul Harga Waktu Menurut Para Ulama. Buku itu menjelaskan
bagaimana seorang ulama sangat menghargai waktu.
Membahas perihal waktu, Lora Ismail juga memaparkan kisah
Ibnu Aqil (pensyarah kitab Alfiyah ibn Malik). Beliau tidak pernah mengonsumsi makanan
yang dikunyah, tetapi mengomsumsi makanan yang lansung masuk ke dalam tubuh
tanpa melalui proses kunyah.
“Kenapa?” tanyanya membuat santri penasaran. “Mengunyah
makanan itu sama dengan membuang waktu,” jawab beliau atas pertanyaannya
sendiri. Beliau menjelaskan bahwa pada umumnya makanan membutuhkan waktu tiga
sampai empat menit dalam proses mengunyah hingga bisa ditelan. Dan itu adalah
ukuran waktu yang lama bagi Ibnu Aqil untuk bisa menggunakannya dalam hal-hal
yang berkaitan dengan ilmu.
“Ini eman – eman, andaikan saya buat untuk
menghafalkan Al Quran, andaikan saya buat untuk muroja’ah, andaikan saya
buat untuk baca kitab,” tandas murid kinasih KH. Maimun Zubair itu. Atas pemahaman
ini, penghargaan terhadap waktu merupakan hal yang teramat mulia yang harus
selalu mendasari setiap laku apapun kondisinya, terlebih santri dalam mencari
ilmu.
“Para ulama kita dulu sebegitu memanfaatkan waktu sebaik
– baiknya,” ucap Lora Ismail dengan raut serius.
الْعِلْمُ لَا يُعْطِيكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
Ilmu itu tidak akan memberimu sebagian darinya, sampai
engkau memberikan seluruh dirimu.
Selanjutnya kunci kesuksesan yang kedua yaitu mampu
mensiasati waktu, dalam penjelasannya beliau memberikan contoh perihal membaca Al
Qur’an di bulan Ramadhan. Setelah berbuka puasa, seseorang memiliki niat bahwa setelah
isya ingin membaca Al Quran 10 juz. Namun setelah shalat tarawih yang tadinya menargetkan
membaca 10 juz, saat mendapat satu lembar nafsu menghantui dan mengajak untuk
mengakhiri kegiatan ngaji tersebut.
“Mengapa nafsu itu meremehkan?” ucap beliau.
“Karena kata nafsu ini cuma sunnah kok, ditinggalin nggak
dosa” lanjutnya dengan keseriusan.
Menanggapi hal itu, Lora Ismail memberikan cara untuk
mensiasati yaitu dengan melakukan nazar. Alasannya karena ketika
melakukan nazar maka perkara sunnah itu akan menjadi wajib. Lalu dengan
label wajib tersebut maka seseorang akan mendapat dosa ketika meninggalkan dan
mendapat pahala saat melaksanakan. Menurut hemat penulis, berubahnya status hukum dari sunnah ke wajib
ini dimaksudkan karena dalam perkara wajib terdapat unsur paksaan dan tidak
perlu ikhlas. Berbeda dengan sunnah yang harus dilaksanakan secara sukarela,
tidak boleh dipaksa dan ikhlas karena Allah SWT.
Terakhir, beliau memberikan pesan agar kita semua dapat
menjadi orang – orang yang mampu menebar kemanfaatan terhadap siapapun dan
dimanapun. Sebab orang – orang tentu menunggu sumbangsih yang bisa diberikan
setiap santri pada masyarakat sekitar. Seperti tujuan seseorang berada di
pondok yaitu mampu menebar kebaikan sebanyak – banyaknya karena hal itu
merupakan alasan mengapa kita dicetak.
Tulis Komentar